Menurut Peterson, jumlah anak yang mengisap jari antara 13% - 45%. Ada anak mengisap jari pada waktu tertentu, misalnya waktu mengantuk, selama tidur, bila sedang kesal atau bosan, lapar, setelah makan, waktu santai, atau saat stress.
Kebiasaan mengisap jari ini sering merupakan kombinasi, misalnya mengisap jari diikuti dengan memegang rambut, memegang hidung atau telinga. Kebiasaan tambahan ini juga dapat berupa meraba guling, bantal, kasur, selimut maupun mainan.
Bayi yang dirawat dengan tidak sabar dan diberi botol dengan dot yang desainnya tidak baik, akan kehilangan kehangatan. Ia akan kehilangan kenikmatan atau kesenangan mengisap. Rasa kehilangan ini akan memotivasi bayi untuk mengisap jari.
Sejak lahir, secara naluriah bayi sudah tergantung pada bibir dan lidahnya. Bila mereka sudah dapat meraih benda yang ada didekatnya, maka yang pertama-tama dilakukan adalah memasukkan benda itu kedalam mulutnya. Untuk bayi mengisap itu penting, baik untuk kebutuhan psikologis maupun nutrisi. Selama minum, bayi tidak hanya mencari kepuasan nutrisi, tetapi juga kenikmatan pada bibir, lidah, mukosa mulut dan belajar menghubungkan diri dengan perasaan cinta, keakraban dan halusnya suara orang tua. Bayi yang mengisap ASI cukup lama, biasanya lebih jarang melakukan kebiasaan mengisap jari bila dibandingkan dengan anak yang minum ASI dalam waktu singkat atau tidak mengisap ASI sama sekali.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa bila kebiasaan mengisap jari dihentikan sebelum gigi anterior tetap erupsi, tidak akan terjadi kelainan pada lengkung rahang maupun oklusi. Bila kebiasaan itu berlanjut sampai masa gigi bercampur, kemungkinan kelainan itu terjadi.
Parahnya maloklusi tergantung pada intensitas, frekuensi, lamanya kebiasaan itu dilakukan setiap hari, dan sudah berapa tahun kebiasaan itu berlangsung. Intensitas adalah kekuatan mengisap, sedangkan yang dimaksud dengan prekuensi yaitu berapa sering kebiasaan ini dilakukan setiap hari. Dari beberapa penelitian dilaporkan tingginya prevalensi mengisap jari pada bayi yang baru lahir dan prevalensi kebiasaan ini akan turun secara teratur dengan bertambahnya umur.
Sim dan Finn menyatakan bahwa hambatan erupsi tergantung pada posisi jari atau ibu jari di dalam mulut dan efek kekuatan pengungkit terhadap gigi lain dan tulang alveolar (bila waktu mengisap gigi ditekan). Kelainan yang mungkin terjadi akibat kebiasaan ini adalah gigitan terbuka anterior, pergeseran ke labial insisivus atas dan pergerakan ke lingual insisivus bawah, serta penyempitan rahang atas. Sedangkan Peterson menambahkan akibat kebiasaan ini, jarak gigit (overjet) lebih lebar dan tumpang gigit (overbite) bertambah kecil, kadang-kadang terjadi gigitan silang posterior.
Maloklusi karena mengisap jari akan normal kembali setelah kebiasaan itu dihilangkan dan gigi tetap anterior erupsi. Ada beberapa maloklusi yang tidak dapat normal sendiri, karena maloklusi tergantung pada beberapa faktor selain kebiasaan itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi adalah parahnya maloklusi, variasi anatomi pada jaringan lunak mulut, adanya kebiasaan lain seperti bernapas melalui mulut, menjulurkan lidah, dan kebiasaan bibir lainnya.
Dot biasanya digunakan untuk menggantikan jari. Anak yang menggunakan dot jarang mempunyai kebiasaan mengisap jari. Meskipun maloklusi dapat terjadi karena pengaruh dot, tetapi tidak separah maloklusi karena mengisap jari. Bila kebiasaan mengisap jari berlanjut sampai gigi tetap erupsi kemungkinan besar maloklusi tidak akan normal sendiri. Pada keadaan ini harus dilakukan perawatan.
Sumber Tulisan :
Liane Andajani T, Kebiasaan Buruk Pada Anak yang Berkaitan dengan Mulutnya, Jurnal PDGI, Journal of the Indonesian Dental Association, Tahun 46 Nomor 2, Agustus 1997.