Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran ditulis oleh : Deni Eka Priyantoro, M.H (Polda Jateng).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Tindak Pidana dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP. Kriteria pembedaan dalam dua jenis ini tidak dijelaskan dalam KUHP. Karena KUHP tidak memberikan penjelasan kriteria pembedaan itu, maka kriteria pembedaan itu dikembangkan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ini terdapat dua pandangan mengenai kriteria pembedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.
1. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa :
Kejahatan adalah “rechtsdelict” yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-undang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misalnya : pembunuhan, pencurian.
Pelanggaran adalah “wetsdelict” yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena Undang-undang menyebutkan sebagai delik, jadi karena ada Undang-undang mengancamnya dengan pidana, misalnya: memparkir mobil disebelah kanan jalan.
2. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu “hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan dari pada kejahatan”.
Selanjutnya yang termasuk kejahatan sebagaimana yang diatur dalam buku kedua KUHP, diantaranya adalah pencurian. Menurut Kamus Bahasa Indonesia yang ditulis oleh W.J.S. Poerwadarminta, disebutkan bahwa “pencurian berasal dari kata curi yang berarti berbagai-bagai perkara pencurian, sedangkan arti daripada pencurian adalah perkara (perbuatan), mencuri (mengambil milik orang lain). Perbuatan ini dimaksudkan untuk memiliki barang yang diambilnya, dimana barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Setelah dilakukan perbuatan mengambil, maka barang tersebut baru berpindah penguasaannya yang mengakibatkan putusnya hubungan penguasaan antara barang tersebut dengan orang yang memilikinya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro “kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dengan mengalihkannya ke lain tempat”. Sedangkan arti kata mengambil menurut KUHP adalah “mengambil untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekauasaannya”.
Selanjutnya yang dimaksud dengan barang, dalam KUHP tidak diberikan mengenai pengertiannya, tetapi dalam penjelasannya barang itu diartikan sebagai barang yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak termasuk), misalnya, uang, baju, kalung dan sebagainya, serta termasuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud tetapi dialirkan di kawat atau pipa, dan barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Dapat dikatakan, kayu sebagai barang, yang tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.
Di sini dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencurian adalah perbuatan yang merugikan kekayaan orang lain, dan barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis, misalnya barang yang diambil tidak mungkin akan terjual kepada orang lain, tetapi bagi si korban sangat dihargai sebagai suatu kenang-kenangan, contohnya beberapa helai rambut yang diambil dari orang yang meninggal yang sangat dicintai atau beberapa halaman yang disobek dari suatu buku catatan atau surat. Dan benda atau barang yang dijadikan obyek tersebut adalah sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain atau masih ada pemiliknya.
Selain daripada itu Wirjono Prodjodikoro menjelaskan juga bahwa: Barang yang diambil dapat sebagian dimiliki oleh si pencuri, yaitu apabila merupakan suatu barang warisan yang belum dibagi-bagi, dan si pencuri salah seorang ahli waris yang turut berhak atas barang itu. Hanya jika barang yang diambil itu tidak dimiliki oleh siapapun (res nullius), misalnya sudah dibuang oleh si pemilik, maka tidak ada tindak pidana pencurian.
Yang dimaksud dengan barang yang dimiliki oleh siapapun, dalam hal ini ada dua pengertian yaitu:
a. Res Derelictae adalah benda atau barang yang memang tidak dimiliki oleh seseorang, contohnya: ikan yang ada di laut, burung yang ada di hutan.
b. Res Nullius adalah benda atau barang yang semula dimiliki oleh orang lain, tetapi orang itu kemudian melepaskan haknya atas barang itu, misalnya: barang yang dibuang di tempat sampah.
Jadi bila barang yang tidak dimiliki oleh siapapun, dan kemudian barang itu diambil oleh orang lain, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan mencuri, tetapi apabila barang itu sebagian atau seluruhnya milik orang lain, misalnya salah seorang yang mempunyai hak atas barang warisan, tetapi barang warisan itu belum dibagi-bagi, dan ternyata orang yang mempunyai hak atas barang warisan itu telah mengambil lebih dulu barang warisan itu tanpa sepengetahuan dari para ahli waris yang lain, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan pencurian.
Selanjutnya mengenai unsur dengan maksud untuk memiliki, sebelum penulis menjelaskan unsur tersebut sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, maka terlebih dahulu perlu diketahui bentuk-bentuk dari kesengajaan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu:
1. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsafan kepastian);
3. Kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzi in atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan).
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dapat dikatakan mempunyai “kesengajaan yang bersifat tujuan” apabila dengan sengaja melakukan perbuatan itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seorang dikatakan melakukan sesuatu perbuatan sebagai “kesengajaan secara keinsafan kepastian” bilamana orang tersebut dengan perbuatannya tidak bertujuan mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Demikian halnya bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan sebagai “kesengajaan secara keinsafan kemungkinan”, apabila melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan dan ia menyadari bahwa kemungkinan akan timbul akibat lain yang bukan merupakan tujuan dari perbuatan.
Mengenai unsur “maksud untuk memiliki”, hal ini identik dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, artinya seseorang yang mengambil barang kepunyaan orang lain tujuannya adalah untuk memiliki barang tersebut. Mengenai wujud perbuatan memiliki barang ini bisa bermacam-macam, yaitu seperti: menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan, dan bahkan sering bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa-apa dengan barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu dengan barang itu tanpa persetujuannya. Unsur secara melawan hukum, artinya perbuatan tersebut nyata-nyata melawan hak atau bertentangan dengan hukum.
Sumber Rujukan :
Sudarto, 2009, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco, Bandung.
R. Soesilo, 1986, KUHAP Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :