Sifat Hukum Pidana (Hukum Publik - Hukum Privat)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Sifat Hukum Pidana (Hukum Publik - Hukum Privat)
Sudah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan kedudukan demikian kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan.
Tidak sedikit para ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa hukum pidana memang merupakan hukum publik. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik. Pengertian hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Simons. Dia mengatakan bahwa hukum pidana mengatur hubungan antara para individu sebagai anggota masyarakat dengan warga negara, sehingga merupakan bagian dari hukum publik.
Alga juga mengemukakan pendapatnya bahwa hukum pidana termasuk hukum publik, karena pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dengan eksistensi badan negara. Pernyataan tingkah laku yang dapat dipidana misalnya dinyatakan oleh badan perundang-undangan. Demikian juga penuntutan perkara pidana dilakukan oleh badan lembaga kejaksaan. Sementara, Van Hamel berpendapat bahawa hukum pidana itu sebagai hukum publik, karena menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terletak di tangan pemerintah (negara).
Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Andi Zainal Abidin yang mengatakan bahwa, sebagian besar kaidah-kaidah dalam hukum pidana bersifat (hukum) publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum publik dan hukum privat, memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang keras yang melebihi sanksi di bidang hukum lain, berdiri sendiri, dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa ketentuan hukum pidana memang bersifat publik dan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Sekalipun pihak yang dirugikan karena pencurian misalnya tidak melapor terjadinya tindak pidana, polisi tetap berkewajiban untuk menyidik dan memeriksa perkara tersebut, dan penuntut umum wajjib menuntut perkara tersebut di pengadilan.
Secara teoritis terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar apakah suatu bidang hukum itu merupakan hukum publik dan hukum privat. Pertama, kepentingan hukum yang dilindingi. Apabila substansi dari suatu bidang hukum itu lebih berorientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan, maka bidang hukum tersebut dapat dikatakan sebagai hukum privat. Namun jika yang hendak dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum, maka bidang hukum itu dikatakan sebagai hukum publik. Kedua, kedudukan para pihak di mata hukum (negara). Jika pihak-pihak yang berperkara dihadapan hukum negara memiliki kedudukan yang sejajar dan bersifat individual, hal demikian disebut sebagai hukum privat. Tetapi jika para pihak yang berperkara itu tidak dalam kedudukan yang sejajar, dalam arti satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lain, maka hal demikian disebut sebagai hukum publik. Kedudukan jaksa sebagai wakil dari hukum negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan terdakwa di pengadilan.
Ketiga, pihak yang mempertahankan kepentingan. Jika pihak yang mempertahankan kepentingan atas terjadinya pelanggaran hukum dihadapan hukum negara adalah adalah perseorangan, maka bidang hukum yang demikian disebut dengan bidang hukum privat. Namun bila pihak yang mempertahankan kepentingan atas terjadinya pelanggaran hukum adalah bukan perseorangan, tetapi negara, maka bidang hukum itu dikelompokkan kedalam hukum publik.
Tiga kriteria tersebut yang kemudian memasukkan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik ternyata menimbulkan implikasi yang luas terutama berkaitan dengan konsep pelanggaran, kedudukan hukum negara dan penegak hukumnya, dan proses penyelesaian pelanggaran. Tiga hal itu sesungguhnya merupakan implikasi yang secara langsung disebabkan oleh konstruksi bahwa hukum pidana sebagai bagian hukum publik.
Manakala hukum pidana dikonsepsikan sebagai hukum publik, maka terjadinya pelanggaran esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (public order) atau suatu perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga negara, dan menentang serangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat. Hanya perbuatan-perbuatan tertentu yang secara eksplisit dinyatakan sebagai perbuatan terlarang oleh negara yang pantas disebut sebagai pelanggaran. Sedangkan eksistensi korban kejahatan tidak dianggap sebagai pihak dalam proses peradilan pidana, ia adalah the forgetten people in the system.
Ketika suatu negara merupakan satu-satunya pihak yang berhak menentukan mana yang disebut pelanggaran dan mana yang tidak, maka kedudukan hukum negara dan aparat penegak hukumnya lebih tinggi dibandingkan dengan perseorangan dan korban yang dirugikan secara langsung akibat perbuatan pelaku. Hanya polisi yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan, hanya jaksa yang berhak melakukan penuntutan dan hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang. Hukum negara dan aparat penegak hukumnya memonopoli semua pelanggaran, dan korban hanya berhak menjadi penonton, tidak boleh masuk kedalam sistem yang dibuat dan ditentukan oleh hukum negara.
Demikian halnya dengan proses penyelesaian semua pelanggaran tanpa melihat karakter dari masing-masing pelanggaran itu dan kerugian yang dialami oleh korban. Ketika terjadi pelanggaran yang bersifat publik, maka negara sudah menyediakan cara bagaimana menyelesaikan pelanggaran tersebut, pelanggar dijatuhi hukuman ketika terbukti bersalah dan hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh hukum negara. Singkatnya, penjatuhan hukuman oleh hukum negara bertujuan sebagai pembalasan, pencegahan, dan membuat jera, sehingga pelanggar tidak mengulangi perbuatannya itu.
Padahal, konsepsi hukum pidana sebagai hukum publik sebenarnya merupakan warisan dari ilmu hukum Romawi dan sebelumnya tidak dikenal dalam ilmu hukum Eropa Barat. Pembagian hukum menjadi hukum privat dan hukum publik dan menjadikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik bukanlah perbedaan yang asasi, melainkan karena tradisi atau hasil studi sistemik terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Kranenburg berpendapat bahwa pembagian tersebut dipengaruhi oleh suatu sistem tertentu yang diadakan berhubungan dengan proses diferensiasi yang sudah lama berkembang dalam ilmu hukum. Proses diferensiasi tersebut saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Kalaupun ada perbedaan, itu disebabkan karena peraturan perundang-undangan mengaturnya demikian, atau karena mengikuti tradisi. Oleh karena itu, pembagian hukum kedalam hukum privat dan hukum publik hanya mendatangkan kepuasan di tingkat teoretis, tetapi tidak demikian dalam kenyataan dalam praktik.
Atas dasar itu, eksistensi hukum pidana sebagai hukum publik seyogyanya diganti karena kurang memiliki dasar legitimasi yang kuat. Penggantian tersebut di satu sisi dikaitkan dengan segi teoretis serta kenyataan dalam praktik dan di sisi lain dikaitkan dengan eksistensi nilai-nilai budaya masyarakat yang masih berlaku dan dipertahankan oleh mereka. Hukum pidana dalam konteks ini merupakan hukum publik yang berdimensi privat. Dimensi privat ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, diakuinya peradilan adat yang merupakan kekayaan budaya bangsa indonesia. Kedua, dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan sehingga mediasi pidana (penal mediation).yang mempertemukan pelaku dan korban untuk menyelesaikan perkaranya bisa terwujud.
Selama ini, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan ditabukan bahkan dianggap sebagai hal yang 'haram'. Hanya polisi yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pidana, dan hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang. Perdamaian antara pelaku dan korban tidak dikenal dalam hukum pidana karena ia merupakan bagian dari hukum publik. Padahal, di berbagai negara mediasi pidana telah banyak diakui dan diterapkan dalam proses peradilan pidana.

Sumber Pustaka :
Dalam Buku : Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Dari Rujukan :
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Algra et.al, Mula Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983.
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
Marc Groenhuijen, "Conflict of Victims Interests and Offender's Rights in the Criminal Justice System", dalam Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Jakarta, 1964, sebagaimana dikutip oleh Mudzakkir, Korban Kejahatan dalam Perspektif Peradilan Pidana Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
Barda Nawawi Arief, "Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan", makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Tanggal 27 Maret 2007.  

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :