Sejarah Hukum Pidana Pasca Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat W.v.S.N.I masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa "segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Dengan adanya aturan peralihan ini, maka Presiden pada tanggal 10 Oktober 1945 mengeluarkan Peraturan No.2 yang isinya antara lain:
Untuk ketertiban masyarakat, berdsarkan atas Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubungan dengan Pasal IV, kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut :
"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut".
Dengan demikian, eksistensi W.v.S.N.I masih tetap berlaku sebagai Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia. Pada tahun 1946 keberadaan W.v.S.N.I diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang secara eksplisit dimaksudkan untuk memberlakukan W.v.S.N.I. Pasal I menyatakan, "dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No.2 menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 maret".
Selain itu, terdapat beberapa pasal yang penting untuk diperhatikan yaitu Psal V, Pasal VI, Pasal VIII dan Pasal IX dan Pasal XVI. Pasal V berisi ketentuan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku. Pasal VI mengubah secara resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie dengan Wetboek van Strafrecht saja atau yang biasa diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal VIII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan Pasal IX sampai dengan Pasal XVI berisi penciptaan delik-delik baru.
Pembentukan UU No. 1 Tahun 1946 didasarkan pada dua tujuan penting. Pertama, hukum pidana yang diberlakukan pada masa penjajahan Jepang mengandung beberapa kelemahan. Pertama, pada masa penjajahan Jepang wilayah Indonesia dibagi dalam tiga bagian yang masing-masing ditempatkan di bawah pemerintah tersendiri. Jawa dan Madura berada dibawah tentara Jepang ke-16, sedangkan Sumatera berada di bawah tentara ke-25, dan daerah-daerah lain di bawah angkatan laut. Dengan pembagian tersebut, dengan sendirinya terdapat banyak perbedaan dalam peraturan hukum pidana yang berlaku di masing-masing bagian. Misalnya, peraturan hukum Hindia Belanda yang dimaksudkan untuk diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, oleh tentara Jepang ke-16 dicabut dan dikesampingkan dengan dikeluarkannya peraturan baru yang berbeda. Hal demikian berbeda dengan tentara Jepang ke-25 yang tetap mempertahankan eksistensinya dengan sedikit perubahan. Sedangkan angkatan laut tidak mengadakan perubahan sama sekali. Kedua, adanya dua macam peraturan hukum pidana yang berbeda sistem dan asas-asas umumnya yang berlaku di wilayah yang sama dan untuk orang-orang yang sama. Misalnya, hukum pidana Belanda menganut asas legalitas yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada peraturan yang mengatur sebelumnya. Asas tersebut tidak diikuti oleh hukum pidana Jepang karena dalam hukum pidana Jepang yang berlaku adalah sebaliknya, yakni hukum pidana Jepang berlaku untuk masa yang akan datang dan untuk masa yang sudah lampau. Ketiga, hukum pidana Jepang dianggap sebagai hukum yang memaksa para hakim untuk menjatuhkan pidana yang tidak seimbang dengan kesalahan seseorang.
Kedua, mengadakan unifikasi hukum di lapangan hukum pidana, karena setelah negara Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia mengalami kesulitan-kesulitan untuk menentukan peraturan-peraturan manakah yang masih berlaku dan yang mana yang sudah tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, serta yang terpenting lagi adalah, mengingat saat itu telah terjadi dualisme hukum di lapangan hukum pidana.
Unifikasi hukum pidana yang menjadi dibentuknya UU No.1 Tahun 1946 ternyata tidak bersifat mutlak. Sebab Pasal XVII memuat ketentuan yang menegaskan tentang batas-batas teritorial berlakunya W.v.S.N.I, yang berbunyi, "undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden". Dengan ketentuan ini, W.v.S.N.I hanya berlaku uuntuk wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda yang setelah kemerdekaan wilayah tersebut menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan untuk beberapa wilayah dari bekas Hindia Belanda yang pada saat kemerdekaan tidak otomatis menjadi bagian dari NKRI seperti wilayah Negara Indonesia Timur, Sumatera Timur, Irian Barat, dan sebagainya, maka W.v.S.N.I sama sekali tidak dapat diberlakukan di wilayyah-wilayah tersebut. Belanda sendiri pada tahun 1948 telah membuatkan secara khusus suatu KUHP untuk wilayah-wilayah tersebut dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Indonesia (W.v.S.I) yang berlakunya atas dasar Staatblads 1948 No. 224.
Sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1946 pada dasarnya mengulang kembali terjadi dualisme hukum pidana di Indonesia seperti yang pernah terjadi sebelum tahun 1918, yaitu dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen 1886 yang diperuntukkan bagi orang Eropa dan het Wetboek van Strafrecht Inlanders en daarmede Gelijkgestelden 1872 yang diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing.
Dualisme hukum pidana tersebut baru berakhir pada tanggal 29 September 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagai peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan undang-undang tersebut sekaligus merubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perubahan tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam konsideran undang-undang tersebut, yaitu :
Dengan ditetapkannya Peraturan tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia tentang Penggunaan Bendera Negara Asing di Indonesia dan tentang Penggunaan Lambang Negara, maka perlu diadakan perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 merupakan realisasi atas kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1948. Berdasarkan Konferensi tersebut, seluruh wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda dikembalikan kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Sejak saat itu, wilayah-wilayah Indonesia bekas Hindia Belanda yang tadinya tidak tergabung dengan NKRI dan memiliki KUHP sendiri, telah menjadi bagian integral dari NKRI. Olah karena itu, KUHP di wilayah inipun harus mengikuti KUHP yang secara resmi berlaku di NKRI, yakni W.v.S.N.I. Namun, karena berlakunya W.v.S.N.I terlanjur dibatasi sendiri oleh ketentuan Pasal XVII UU No.1 Tahun 1946, maka pemberlakuan W.v.S.N.I di wilayah-wilayah yang baru bergabung dalam NKRI atas dasar KMB Den Haag tersebut, perlu dibuatkan dasar peraturannya. Dalam konteks inilah, maka lahir UU No.73 Tahun 1958 yang sebagian substansinya merevisi UU No.1 Tahun 1946 khususnya Pasal XVII.
Daftar Pustaka :
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Djoko Prakoso dan Edy Yunianto, Dualisme dalam Peraturan Hukum Pidana Sejak Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Bina Aksara, Jakarta, 1986.
Han Bing Siong, Cara Melaksanakan Hukuman Mati Pada Waktu Sekarang dan Pada Waktu Lampau, Dimar Sandang, Jakarta, 1960.
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Djoko