Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Ahli

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Ahli ditulis oleh : Deni Eka Priyantoro, M.H (Polda Jateng).
Tindak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit. Menurut Muljatno, tindak pidana adalah keadaan yang dibuat seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, dan perbuatan itu menunjuk baik pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat.
Ada beberapa pendapat para penulis mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit), dan disebutkan mengenai unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa dimasukkan ke dalam golongan “monistis” dan golongan kedua mereka yang disebut sebagai golongan “dualistis”.
Yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility) adalah:
A. D. Simons mengemukakan strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah:
1) Perbuatan manusia;
2) Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simon juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dalam strafbaar feit. Yang disebut dalam unsur obyektif adalah:
1) Perbuatan orang;
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Segi subyektif dari strafbaar feit adalah:
1) Orang yang mampu bertanggungjawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
B. Van Hamel mengemukakan definisi strafbaar feit adalah “een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en aan schuld te witjen”. Jadi unsur-unsurnya ialah:
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;
2) Melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan;
4) Patut dipidana.
C. E. Mezger mengemukakan Die straftat ist der inbegriff der voraussetzungender strafe (tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan “die straftat ist demnach tatbestandlich-rechtwidrige, pers onlich-zurechenbare strafbedrohte handlung”. Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana ialah:
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia;
2) Sifat melawan hukum;
3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
D. J. Baumann mengemukakan Verbrechen im weiteren, allgemeinen sinne adalah “die tatbestandmaszige rechwidrige und schuld-hafte handlung” (perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan).
E. Karni mengemukakan delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan.
F. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi pendek tentang tindak pidana, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Yang termasuk dalam golongan aliran dualistis tentang syarat-syarat pemidanaan adalah:
A. H.B. Vos mengemukakan een strafbaat feit ist een menselijke gedraging waarop door de wet (genomen in de ruime zin van “wettelijke bepaling”) straf ist gesteld, een gedraging dus, die in het elgemeen (tenzij er een uitsluitingsgrond bestaat) op straffe verboden ist. Jadi menurut H.B. Vos tindak pidana adalah hanya berunsurkan kelakuan manusia dan diancam pidana dalam Undang-undang.
B. W.P.J Pompe, berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-undang (volgens ons positieve recht ist het strafbaat feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori, tindak pidana (strafbaat feit) adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaat feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi di samping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Pompe memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana, atau berpegang pada pendirian yang positief rechtelijke.
C. Moeljatno, memberi arti terhadap tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (ini merupakan syarat formil);
3) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHPidana. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan. Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.
Sedangkan menurut Simorangkir, tindak pidana sama dengan delik, ialah perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh Undang-undang dan dilakukan oleh seseorang dengan bersalah, orang mana harus dipertanggungjawabkan. Unsur-unsur dalam delik adalah adanya perbuatan, melanggar peraturan pidana dan diancam dengan hukuman, dan dilakukan oleh orang dengan bersalah.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana dapat dipahami sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan akibat dilakukannya tindakan hukuman atau pemberian sanksi terhadap perbuatan tersebut.
Sumber Tulisan :
Sudarto, 2009, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :