Asas Geen Straf Zonder Schuld

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Asas Hukum Pidana atau Criminal Law diantaranya adalah Asas Geen Straf Zonder Schuld (Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan)
Asas ini berkaitan dengan criminal responsibility atau criminal liability (Moeljatno, 2000). Criminal responsibility merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana yang diperjelas oleh Masruchin Ruba`i (2001) sebagai berikut "Pemidanaan baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana". Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang disebut juga dengan istilah Geen Straf Zonder Schuld ini di Indonesia tidak dituangkan di dalam KUHP, tetapi tercantum di dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
"Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduh atas dirinya".
Pengertian kemampuan bertanggung jawab atau seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, tidak dirumuskan secara eksplisit di dalam KUHP. Pengertian tentang kemampuan bertanggung jawab ini dapat dicari pada doktrin atau ilmu pengetahuan hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain :
1. Simon mengemukakan bahwa kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan psikis sedemikian yang membenarkan penerapan suatu upaya pemidanaan. Atau dengan perkataan lain, seseorang mampu bertanggung jawab kalau jiwanya sehat, sehingga :
a. Dia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
b. Dia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
2. Von Hammel mendefinisikan kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan, yaitu :
a. Mampu untuk mengerti nilai-nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan.
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.
Walaupun pengertian tentang kemampuan bertanggung jawab ini tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi KUHP masih memberikan solusi dengan rumusan KUHP yang mengemukakan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa diri si petindak / pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Rumusan KUHP ini oleh Masruchin Ruba`i disebut sebagai syarat negatif yang tercantum didalam pasal 44 KUHP yang berbuunyi :
"Barangsiapa melakukan perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau jiwanya terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana".
Berdasarkan rumusan di dalam pasal 44 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa dua alasan yang dapat digunakan untuk menentukan seseorang dapat diminta pertanggung jawaban dalam hukum pidana atau tidak yang terdiri dari :
1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, misalnya retardasi mental, bisu, tuli, buta atau cacat lain yang mempengaruhi ketidak sempurnaan pertumbuhan jiwanya.
2. Jiwanya terganggu karena penyakit, misalnya SOO (Syndroma Otak Organik) akibat trauma otak atau penyebab lain, psychosa atau schizophrenia dan beberapa penyakit lain yang menyebabkan gangguan jiwa.
Ruba`i (2001) berpendapat bahwa keadaan mabuk, kadang-kadang tidak dapat diminta pertanggung jawaban dalam hukum pidana, tetapi adakalanya bisa tetap diminta pertanggung jawaban. Adapun orang yang tidak mampu bertanggung jawab antara lain adalah orang yang minum minuman keras sebagai kebiasaan kemudian melakukan perbuatan pidana pada saat mabuk berat dimana orang tersebut sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukannya. Sedangkan orang yang sengaja minum minuman keras untuk menambah ketabahan (courage drinken) maupun keberanian dalam melakukan kejahatan, tetap dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana. Demikian juga seseorang yang dalam keadaan mabuk ringan yang masih dapat menyadari perbuatannya tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.
Sumber :
Anny Isfandyarie dan Fachrizal Afandi, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku ke II, Prestasi Pustaka Publisher, h.57-59.   

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :