Pembukaan Rute Penerbangan Pesawat Udara

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pembukaan Rute Penerbangan Pesawat Udara ditulis oleh sahabat Zona Prasko : Evert Max Tentua, SH, M.Hum
Suatu perusahaan penerbangan akan dapat mengoperasikan pesawat udaranya ke atau dari ataupun di negara lain haruslah terlebih dahulu telah melakukan perjanjian dengan negara yang akan dituju.
Dengan demikian yang melakukan perjanjian yaitu negara dengan negara dan bukan perusahaan penerbangan dengan negara yang akan dituju.
Tetapi sebelum pengoperasian, menurut Pasal 17, Pasal 20 dan Annex 7 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan bahwa pesawat udara harus terlebih dahulu untuk didaftarkan di suatu negara untuk memperoleh tanda kebangsaan dan nomer registrasi.
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944 menyebutkan tidak mengatur tentang persyaratan pendaftaran pesawat udara, hanya mengatur tentang pelarangan pendaftaran pesawat udara pada lebih dari satu negara, dan hal ini berarti menganut sistim pendaftaran tunggal (single registration system) yaitu pendaftaran pesawat udara diserahkan kepada hukum nasional masing-masing negara anggota I.C.A.C. (International Civil Aviation Commission).
Dengan demikian tiap-tiap negara bebas menentukan persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara sesuai dengan hukum nasionalnya masing-masing.
Di negara Indonesia diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan mengenai persyaratan dari kebangsaan suatu pesawat udara yaitu :
1. Tidak terdaftar di negara lain.
2. Dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia.
3. Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian. 
4. Dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara 
tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum.
5. Dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan dan atau perdagangan pesawat udara.
Perjanjian membuka rute penerbangan antar negara tersebut berbentuk bilateral, seperti yang diatur di dalam I.A.T.A. (International Air Transport Agreement), sedangkan di negara Indonesia diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa penetapan jaringan dan rute penerbangan internasional diatur oleh pemerintah berdasarkan perjanjian antar negara.
Perjanjian bilateral tentang membuka rute penerbangan internasional atau yang biasa disebut dengan istilah B.A.T.A. (Bilateral Air Transport Agreement) diatur dan disusun berdasarkan standart internasional yang terdiri dari hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua negara yang meliputi :
1. Penunjukan perusahaan penerbangan.
Artinya negara hanya berhak menunjuk perusahaan penerbangan nasionalnya untuk melayani rute internasional, yang biasanya di negara-negara berkembang penunjukan perusahaan penerbangan dilakukan dengan penunjukan tunggal (single designated airlnes), karena belum banyak memiliki perusahaan penerbangan.
Misalnya negara Indonesia dapat menunjuk perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, Mandala atau Pelita Airlines, dan negara Timor Leste dapat menunjuk perusahaan penerbangan Timor Air.
2. Jumlah kapasitas penumpang.
Artinya jumlah penumpang yang boleh diangkut sesuai dengan kesepakatan yang pada umumnya ditentukan terlebih dahulu dengan :
a. Jenis pesawat udara yang akan digunakan.
b. Waktu pemberangkatan.
3. Tarif angkutan udara.
Artinya harga angkutan udara harus dilakukan persetujuan oleh kedua pemerintah yang bersangkutan agar terjadi keseragaman tarif.
Hampir semua penerbangan di dunia mendapat subsidi dari pemerintahnya yaitu hanya untuk kelas ekonomi dan sedangkan untuk kelas bisnis dan V.I.P. (Very Important Person) ditentukan oleh harga pasaran.
4. Rute penerbangan.
Artinya rute yang akan dituju harus ditetapkan secara ketat untuk melindungi perusahaan penerbangan nasional terhadap persaingan dengan perusahaan penerbangan asing.
Misalnya Garuda Indonesia mendapat rute penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam, sedangkan K.L.M. (Konenklijk Lucht Maatschapij) meminta rute penerbangan dari Amsterdam ke Jakarta dan berakhir di Denpasar, dan keadaan ini jelas merugikan Indonesia.
Pada umumnya B.A.T.A. ditanda tangani atas pertimbangan komersial untuk memperoleh devisa bagi negara, tetapi dalam hal tertentu pula B.A.T.A. dapat ditanda tangani atas pertimbangan antara lain :
1. Keamanan negara yaitu untuk menghindari kecurigaan sebagai penerbangan mata-mata.
Contoh : Perjanjian negara Indonesia dengan negara Rusia (d/h Uni Soviet) yang menyebutkan pesawat udara Indonesia dilarang melintasi wilayah udara Uni Soviet tanpa mendarat.
2. Karena hutang yaitu akibat hutang yang besar, maka sebagai pembayaran hutang tersebut terpaksa menanda tangani B.A.T.A. yang menguntungkan pihak pemberi hutang.
Contoh : Perjanjian Bermuda I (1946) antara negara Inggris dengan Amerika Serikat, karena Inggris hutang untuk membangun negaranya yang hancur akibat Perang Dunia II dengan pembayaran pemberian hak penerbangan kepada Amerika Serikat.
3. Perdagangan yaitu pemberian hak penerbangan kepada negara lain agar perdagangan dapat dilanjutkan.
Contoh : Negara-negara Eropa mengancam akan membatalkan pembelian pesawat udara buatan Amerika Serikat apabila Amerika Serikat meminta pengurangan frekuensi penerbangan dari perusahaan penerbangan negara-negara Eropa khususnya perusahaan penerbangan K.L.M. (Belanda).
4. Prestise yaitu untuk menunjukkan jati diri kepada masyarakat dunia akan keberadaannya sebagai negara yang baru merdeka.
Contoh : Seperti yang dilakukan negara Indonesia pada tahun 1950 yaitu dengan melakukan penerbangan internasional ke Singapura dengan menggunakan pesawat jenis Convair CV-440, sedangkan negara-negara lain baru memiliki DC-3 Dakota sisa-sisa Perang Dunia II.
5. Politik yaitu untuk menunjukkan rasa solidaritas antar negara.
Contoh : Pembukaan rute penerbangan Jakarta-Saigon (Vietnam), apabila dilihat dari segi ekonomi tidak menguntungkan karena jumlah penumpang dengan biaya operasionalnya tidak imbang.
DAFTAR PUSTAKA
1. E. Suherman., SH., Hukum Udara Indonesia Dan Internasional, Bandung : Alumni, 1983.
2. ________________, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
3. Evert Maximiliaan Tentua, SH. Mhum., Hukum Dirgantara Dalam Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang : I.L.S., 2009.
4. Martono., K., SH., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
5. ________________ LLM., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Bandung : CV. Mandar Maju, 1995.
6. ______________________., Perjanjian Angkutan Udara Di Indonesia, Bandung : Mandur Maju, 1996.
7. ______________________, Dr., Pengantar Hukum Udara Nasional Dan Internasional, Bagian Pertama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
8. Konvensi Chicago 1944.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :