Kisah Memilukan Kematian Livia Pavita Soelistio

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Saat ini jam dindingku menunjukkan pukul 01:05 dini hari, rasa badan ini sudah capek karena sejak jam 9 malam tadi aku posting beberapa artikel di blog ini. Niat hati ingin mengakhiri posting untuk istirahat karena aku besok pagi harus ngantor untuk ngajar, tapi..ketika aku melipat lembaran Tabloid Nova yang ingin ku rapikan secara sekilas kulihat tentang berita Livia Pavita Soelistio. Terkejut aku membaca berita ini, aku tidak tahu siapa itu Livia, mengenalpun apalagi, tapi rasanya hati ini ikut panas bahkan mengutuk kebejatan orang-orang yang mencelakakan Livia. Mungkin saja jika peristiwa seperti ini menimpa adik perempuanku, mungkin aku bisa gelap mata membalasnya. Tapi itulah takdir yang kadang tidak kita kehendaki dapat menimpa kita. Secara pribadi saya mengucapkan berbela sungkawa dan mengutuk keras orang-orang bodoh yang melakukan kejahatan ini. Pak Hakim...Jatuhilah para penjahat itu dengan vonis yang seberat-beratnya, negara ini tidak butuh manusia-manusia semacam itu...(Jika Aku jadi Hakim akan ku ketok palu vonis mati untuk mereka, tak peduli pidana itu dilakukan berencana atau tidak!!!!!!).
Kebahagiaan pasangan Yusni Chandra (52) dan Harmanto (69) karena anak semata wayangnya, Livia Pavita Soelistio (21), bakal di wisuda setelah lulus dari Jurusan Sastra Mandarin Universitas Bina Nusantara, tercerabut setelah Livia ditemukan meninggal mengenaskan. Empat pria yang konon berprofesi sebagai sopir angkot, di duga menghabisi nyawa Livia setelah ia dirampok, diperkosa, lalu jasadnya dibuang di Cisauk, Kabupaten Tangerang. 
Berikut kisah Yusni tentang putri tunggalnya :
Livia adalah anak yang baik dan tidak pernah merepotkan. Dia selalu patuh dan hormat kepada orangtua. Di bulan-bulan terakhir saat sibuk mengerjakan skripsi, Livia memang sudah pamit akan jarang pulang kerumah. Padahal biasanya setiap akhir pekan Livia selalu pulang. Selama kuliah, Livia memang kos di dekat kampusnya. Selasa 16 Agustus, sebelum ke kampus untuk melihat pengumuman hasil sidang skripsi, dia menelepon. "Doakan, ya Ma...," katanya. Dia juga cerita, untuk melihat pengumuman, harus memakai seragam kemeja putih dan rok hitam panjang. Jam 16.00, Livia telepon lagi, memberi kabar gembira dengan suara ceria. "Aku lulus Ma..! Saya langsung menimpali, "Sudah merdeka kamu sekarang, ya! Mama ikut senang kamu lulus". Aku dan suami pun langsung merencanakan menjemputnya ditempat kos, membawanya pulang, serta merayakan momen bahagia ini.
Esoknya, sesuai rencana, kami siap-siap berangkat. Papanya, seperti biasa, mengontak telepon genggam Livia. Terdengar nada sambung tapi tak diangkat. Aneh sekali. Livia rajin bangun pagi dan biasanya kalau mau dijemput sudah siap sejak jam 06.00. Ah, mungkin dia sedang pergi dengan teman-temannya dan lupa bawa ponsel, begitu pikirku. Anehnya, suamiku malah mengaku punya firasat tidak baik. Selama ini aku memang membiasakannya pamit sebelum pergi kemana-mana. Pokoknya kalau pergi harus bilang. Kok, kali ini tak ada berita apa-apa.
Jadilah sepanjang hari itu aku terus mencoba menghubungi Livia. Beberapa sepupu Livia juga mengontaknya lewat sms. Semuanya masuk, tapi tak berbalas. Karena cemas, sorenya kami ketempat kosnya. Kugedor pintu kosnya, tak ada sahutan. Lagi-lagi aku mencoba tak berburuk sangka. Siapa tahu Livia sedang pergi merayakan kelulusan dengan teman-temannya. Sampai esoknya, Livia tetap tak bisa dihubungi. Kesal, aku langsung menuju kos Livia dengan ojek. Dari keterangan penjaga kosnya, Livia sudah pergi sejak jam 08.00 pagi. Kuminta mereka mendobrak pintu kamar Livia, barangkali ada petunjuk keberadaannya. Ternyata kamarnya dalam keadaan rapi. Semua bajunya masih ada di lemari. Saat itulah perasaan tak enak langsung menyergap. Atas saran penjaga kos, aku melaporkan hilangnya Livia ke Polsek Kebon Jeruk.
Keluarga besarku dan teman-teman Livia tak mau tinggal diam. Kami mencari Livia kemana-mana. Banyak telepon masuk mengabarkan ketemu Livia. Ada yang bilang bertemu di jembatan Slipi, ada juga yang bilang pernah melihat Livia sedang berjalan bak orang linglung di Mal Taman Anggrek. Berbekal informasi yang tak jelas itu, kami berpencar mencari Livia. Tak satupun membuahkan hasil.
Empat hari setelah itu, titik terang mulai muncul. Sekitar pukul 01.00, empat polisi datang kerumah kami. Kata mereka, Livia ada di Tangerang dan kami diminta ikut ke Tangerang. Perasaan tak enak kembali mendera. Apa yang terjadi pada anakku? Sepanjang jalan, aku terus berdoa agar dia selamat.
Di Polsek Cisauk itu, kami diminta menunggu sementara polisi berangkat ke RS Tangerang. Beberapa jam kemudian, kami diminta kembali ke Polsek Kebon Jeruk. Sesampainya disana, polisi memperlihatkan seuntai kalung. "Benar ini milik anak ibu?" Tak perlu melihat dua kali, aku yakin benar, kalung itu milik Livia. Itu kalung kesayangan Livia yang kubelikan di Mal Artha Gading Mal atas permintaan Livia. Sempat kulihat ada ceceran darah di kalung tersebut. Aku jadi panik dan lemas. "Saya tidak mau kalung. Saya mau anak saya, Pak Polisi," teriakku sambil menangis di kantor polisi. Setelah itu aku jatuh pingsan.
Kemudian, suamiku diminta ikut ke RS Tangerang untuk mengenali jasad yang ditemukan penggembala kambing di sebuah jurang di daerah Cisauk. Ternyata benar, jasad yang sudah terbaring kaku itu adalah Livia. Berkali-kali aku pingsan, tersadar, lalu pingsan lagi. Sungguh tak kuat aku menghadapi kejadian ini. Tak sampai selang sehari, kakak perempuanku mimpi Livia mendatanginya. Dia minta kalung miliknya dan sehelai baju merah. Karena kami sayang dia, kami kirim kalung dan bajunya ke alam Livia dengan cara membakarnya.
Semua kenyataan pahit ini membuatku terus bertanya-tanya, kenapa ada yang tega melakukan ini terhadap anak kami. Dia anak baik, pemalu, dan tak pernah pakai baju yang mencolok. Setelah dia tak ada, aku tak bisa menahan sedih jika mendengar lagu Mandarin karena langsung teringat Livia. dia juga sering membantu Papanya di perusahaan percetakan milik kami.
Ah, kalau saja aku tahu lingkungan sekitar kampusnya kurang aman, tak kuijinkan dia kuliah jauh-jauh. Biarlah dia kerja dirumah saja. Tapi Livia adalah anak yang mandiri, bahkan sekolahpun dia cari sendiri. Dia juga sudah elet sejak muda. Waktu awal-awal kuliah, dia sudah mengajar Bahasa Mandarin di kursus Bahasa Mandarin di Pacenongan. Pernah juga mengajar di SMA Tarakanita. Karena keahliannya di bidang ini juga, dia sempat dapat tawaran kerja di PMA meski belum lulus.
Sampai saat ini aku terus berusaha mengikhlaskan kepergiannya. Soal hukuman bagi orang-orang yang tega membunuh anakku, saya serahkan ke Yang Maha Kuasa. Saya tidak bisa menghukum manusia. Biarkan saja di urus pihak berwajib. Itulah kisah yang diceritakan Ibunda Livia di Tabloid Nova.
Dibawah ini keterangan dari Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat, AKBP Ferdy Sambo, SH, SIK, MH :
Enam tersangka pelaku pencurian dan pembunuhan terhadap Livia sudah ditangkap. Dari keterangan yang berhasil dihimpun oleh polisi, korban terakhir bertemu teman-temannya pada hari selasa 16 Agustus. Setelah berfoto-foto dengan teman-temannya, Livia naik mikrolet M24 jurusan srengseng-Slipi. Berdasarkan keterangan saksi, diketahui di kaca belakang mikrolet ada gambar Rolling Stone. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata ponsel korban yang hilang di jual tak jauh dari tempat kosnya. Yang menjual, sopir tembak M24 yang dinaiki korban.
Para tersangka itu, lanjutnya, merencanakan merampas ponsel dari korban yang dipilih secara acak. Jika korban melawan, akan ddibunuh. Rupanya Livia penumpang pertama yang naik mikrolet. Jam 14.00 Livia dibekap dengan jaket, lalu diletakkan di belakang jok. Karena masih memberontak, leher korban dijerat dengan tali yang biasa dipakai mengikat barang. Nyawa Livia pun melayang.
Meski kejadian berlangsung disiang bolong, tak ada yang melihat karena kondisi kaca jendela mikrolet gelap. "Setelah tersangka mengambil barang korban seperti ponsel, Blackberry, dompet dan uang 200 ribu rupiah, mereka berencana membuang mayat korban ke suatu tempat. Saat melewati kawasan Serpong, A dan RS memperkosa Livia yang sudah tewas, setelah itu mayatnya dibuang ke Cisauk, Tangerang".
Dari peristiwa mengenaskan ini, Ferdy Sambo menghimbau kepada pemilik angkutan dan penumpang. "Pemilik angkot jangan sembarangan menyerahkan mikroletnya ke sopir tembak dan dilarang memasang kaca hitam di angkutan umum. Bagi penumpang, berhati-hatilah saat naik angkutan umum. Kalau hanya sendirian sebaiknya waspada. Jika kacanya gelap, sebaiknya jangan naik. Pilih angkutan umum yang lebih aman".

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :