Kecelakaan medis sering dianggap sama dengan kelalaian medis, karena kedua keadaan tersebut sama-sama dapat menimbulkan kerugian kepada pasien. bila ditinjau dari segi hukum, dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena didalam hukum medis yang menganut "inspanning verbintenis" (perjanjian upaya) yang harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai akibat tersebut terjadi.
Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau meninggal atau cacat, tetapi bila dokter telah melakukan upaya sungguh-sungguh sesuai dengan standar profesi medis, maka dokter tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh : Seorang pasien datang dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat tidur. Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hypertensi berat. Selain itu, dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan ringan pada tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan pengobatan sesuai prosedur, tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang menetap dari kaki dan tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak bisa dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada pasien, karena perjalanan penyakitnya memeng tidak bisa dicegah dan diobati oleh dokter yang bersangkutan.
Demikian juga dalam kecelakaan medis yang merupakan kecelakaan murni tanpa ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang akibat tersebut disebabkan oleh kecelakaan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien merupakan kecelakaan medis dan bukan merupakan kelalaian medis, Guwandi (2004) memberikan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan yang tidak disengaja (accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck).
b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam kecelakaan.
c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medis dan etika profesi.
d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya.
e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala ilmunya, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.
f. Dokter telah berusaha meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi dengan melakukan anamnese yang teliti, pemeriksaan pendahuluan yang adekuat, dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha melakukan terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau telah melakukan konsultasi dengan spesialis lainnya yang berkompeten terhadap kelainan yang diderita pasiennya.
Contoh kasus kecelakaan medis dalam Guwandi (2004) :
The Straits Times, 25 oktober 1986:
Harian ini memuat berita tentang seorang ahli bedah yang melakukan operasi pada tumor paru atas. Tumor tersebut agak besar dan terletak ditempat yang sulit, didekat pembuluh darah arteri. Operasi harus dilakukan, karena tanpa operasi diperkirakan umur pasien tinggal 6 bulan lagi. Tindakan operasi yang dilakukan sangat beresiko, karena letaknya yang berdekatan dengan jantung dan pembuluh darh besar. Pada waktu dilakukan operasi, terjadi "kecelakaan" yang tak disengaja dengan tertusuknya dua pembuluh darah, dan perdarahan yang terjadi tidak dapat dihentikan, karena banyaknya perlekatan-perlekatan didaerah tersebut. Berdasarkan keterangan ahli, operasi ini memang sulit sekali untuk bisa dilakukan, sehingga dokter ahli bedah yang terpandai sekalipun mungkin akan dapat mengalami hal yang sama. Walaupun akhirnya pasien meninggal, dokter tidak dapat dipersalahkan.
Sumber Buku :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.