Penetapan Dan Pencabutan Rumah Sakit Badan Layanan Umum ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
Akhir-akhir ini mulai banyak rumah sakit umum di daerah yang berubah menjadi Badan Layanan Umum. Fenomena ini menarik dan patut didukung, karena “mungkin” saja dengan BLU pengelolaan rumah sakit menjadi lebih baik, kualitas pelayanan meningkat dan pasien akan terpuaskan. Namun harus hati-hati merubah rumah sakit umum daerah menjadi BLU. sebab penerapan BLU di rumah sakit jika tidak diikuti dengan penjaminan kesehatan bagi masyarakatnya, akan berdampak pada semakin tidak mampunya masyarakat menjangkau pelayanan di rumah sakit. Sebab rumah sakit BLU rata-rata menaikkan tarifnya melalui perhitungan tarif berdasarkan prinsip-prinsip bisnis, unit cost, dan lain-lain untuk mengejar cost recovery diatas 60% seperti yang dipersyaratkan untuk menjadi BLU.
Memang diakui bahwa pengelolaan rumah sakit sebagai satuan kerja perangkat daerah dirasakan memperlambat arus kas rumah sakit, terutama untuk memenuhi kebutuhan operasional, mulai penyediaan obat dan bahan habis pakai medis hingga jasa medis yang terlambat, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan. Kelambatan tersebut karena rumah sakit harus menyetor keseluruhan dari pendapatannya ke kas daerah dalam waktu 1 x 24 jam. Untuk kebutuhan rumah sakit harus mengajukan tagihan sesuai mekanisme yang berlaku bagi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan harus tercantum DPA SKPD rumah sakit yang disahkan melalui APBD, dalam hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 10 ayat 4 dimana RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.
Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (ketidakpastian) membuat rumah sakit kesulitan memprediksi berapa seharusnya anggaran real rumah sakit. Tidak heran jika banyak rumah sakit yang harus berhutang kepada perusahaan obat dan jasa medis yang tidak terbayarkan. Beberapa rumah sakit bahkan para tenaga medisnya melakukan unjuk rasa.
Pengertian BLU itu sendiri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Pasal 1 angka 1 yaitu Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memeberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang dimaksud dengan BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan prodiktivitas.
Sedangkan tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum (BLU) dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prisip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Pada PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemudian ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 69 ayat (7) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Dengan BLU maka rumah sakit bisa menggunakan langsung pendapatan yang diterimanya.
Walaupun rumah sakit BLU tidak ditujukan untuk mencari keuntungan namun penerapan praktek bisnis yang sehat mengharuskan manajemen harus bisa memenuhi pencapaian cost recovery yang lebih produktif. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan tarif dengan menghitungnya berdasarkan biaya satuan perpelayanan. Kenaikan ini yang akan memberatkan masyarakat pengguna rumah sakit umum daerah yang notabene adalah masyarakat menengah kebawah. Di sisi lain tidak semua masyarakat yang ada di daerah menjadi peserta jamkesmas, belum meratanya kepesertaan dalam asuransi sosial yang sebagian besar hanya diikuti oleh pegawai negeri (ASKES PNS), Jamsostek dan asuransi komersial lainnya. Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money).
Terhadap permasalahan tersebut maka daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iuran premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera (Bappenas 2005). Melalui Program Indonesia Sehat 2010, gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes 2003). Lingkungan yang sehat termasuk di dalamnya bebas dari wabah penyakit menular. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) 2004-2009, salah satu program di bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk wabah penyakit menular (Bappenas 2004c). Penanganan secara cepat terhadap wabah penyakit juga merupakan bagian dari peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang menjadi satu dari tiga prioritas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009 di bidang kesehatan (Bappenas 2004a; Depkes 2005a).
Rumah sakit pemerintah yang layak untuk dirubah menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum (RSBLU) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum menurut Pasal 3 adalah BLU yang beroperasi sebagai unit kerja kemeterian Negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan, disamping itu BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian Negara/lembaga/pemerintah daearah dan karenanya status badan hukum BLU tidak terpisah dari kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Sedangkan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan adalah Menteri/pemimpin lembaga/gubernur/bupati/walikota. Untuk pejabat yang ditunjuk mengelaola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pemimpin lembaga/gubernur/bupati/walikota.
Untuk persyaratan dan penetapan ijin satuan kerja instansi pemerintah menjadi sebuah BLU yang pengelolaan keuangannya melalui PPK-BLU menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sesuai dengan Pasal 4 dan 5 adalah harus memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif meliputi:
a. Persyaratan substantif yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
1. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
2. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
3. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
b. Persyaratan teknis meliputi:
1. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangannya; dan
2. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
c. Persyaratan administratif yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen sebagai berikut:
1. Pernyatan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
2. Pola tata kelola;
3. Rencana strategis bisnis;
4. Laporan keuangan pokok;
5. Standar pelayanan minimum;
6. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Apabila semua persyaratan tersebut diatas maka pelaksanaan penetapnnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menteri / pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan kepada Menteri Keuangan / gubernur / bupati / walikota atas instansi pemerintah yang telah memenuhi semua persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU sesuai kewenagannya.
b. Penerapan PPK-BLU dapat berupa:
1. Pemberian status BLU secara penuh yaitu apabila seluruh persyaratan substantif, teknis, dan administratif telah terpenuhi dengan memuaskan.
2. Pemberian stasus BLU bertahap apabila hanya terpenuhi persyaratan substantif dan persyaratan teknis saja dan persyaratan administratifnya belum terpenuhi secara memuaskan. Dalam status BLU bertahap ini berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
Mengenai penetapan atau penolakan maka Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, maka sesuai dengan kewenangannya memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. Berakhirnya PPK-BLU yaitu dengan dicabutnya BLU oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya, melalui Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota dengan mendasarkan usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut status BLU, dan berubahnya status menjadi badan hukum dengan kekayaan Negara yang dipisahkan. Pencabutan ini dilakukan karena BLU ynag bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan/atau administratif. Dalam usulan usulan penetapan dan pencabutan PPK-BLU Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota dengan kewenagannya menunjuk suatu tim penilai.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri pada Pasal 2 disebutkan bahwa BLUD beroperasi sebagai perangkat kerja pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh kepala daerah. BLUD juga bagian dari perangkat pemerintah daerah yang dibentuk untuk membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah, dengan status hukum tidak terpisahkan dari pemerintah daerah, kepala daerah selaku penanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didilegasikan kepada kepala BLUD khususnya pada aspek manfaat yang dihasilkan dan juga mengutamakan efektivitas dan efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan (not for profit) dengan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya. Pertanggung jawaban pejabat pengelola BLUD langsung kepada kepala daerah selaku stakeholder dari BLUD tersebut, oleh karena itu rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLUD disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja pemerintah daerah.
Seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk persyaratan dan penetapan PPK-BLUD pada SKPD atau Unit Kerja juga harus memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan administratif. Untuk penerapan PPK-BLUD sebagaimana pada Pasal 9 harus memenuhi:
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola (dengan kriteria: memilikipotensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara efektif, efisien, dan produktif. Dan memiliki spesifikasi teknis yang terkait lansung dengan layanan umumkepada masyarakat) dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD atas rekomendasi sekretaris daerah untuk SKPD atau kepala SKPD untuk Unit Kerja;
b. Kondisi kinerja keuangan SKPD atau Unit Kerja yang sehat (dalam hal ini ditunjukkan dengan tingkat kemampuan pendapatan dari layanan yang cenderung meningkat dan efisien dalam membiayai pengeluarannya).
Khusus pelayanan kesehatan diatur dalam pada Pasal 6 ayat 1 yaitu: penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat diutamakan untuk pelayanan kesehatan. Penetapan PPK-BLUD untuk pelayanan kesehatan diatur dala Pasal 18 dimana SKPD atau Unut Kerja mengajukan permohonan kepada kepala daerah melalui sekeretaris daerah dengan dilampiri dokumen persyaratan administratif, meliputi:
a. Surat pernyatan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. Pola tata kelola;
c. Rencana strategis bisnis;
d. Standar pelayanan minimum;
e. Laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan;
f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan merupakan salah satu dari aktualisasi praktek bisnis yang sehat.. Good corporate governance (GCG) adalah konsep untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan rumah sakit tercapai dengan penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin.
GCG secara definitive merupakan system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep GCG dapat juga diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam konsep GCG ini yaitu:
a. Pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat waktunya.
b. Kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan trasnparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan besar, kuhususnya sebuah instiusi seperti ruamah sakit yang sarat atau padat modal, padat karya dan peralatan-peralatan yang mahal harganya dapat tetap eksis dalam persaingan global. Penerapan GCG dalam suatu perusahaan sendiri mempunyai tujuan-tujuan strategis. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan;
b. Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien;
c. Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para shareholder dan stakeholder perusahaan;
d. Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional;
e. Meningkatkan investasi nasional; dan
f. Mensukseskan program privat-isasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Adapun rinsip-prinsip good corporate governance dalam hal ini meliputi:
a. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Kemandirian (Independecy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
c. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
e. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan perundang-undangan yang berlaku.