Fungsi Hukum Pidana (Criminal Law)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Fungsi Hukum Pidana (Criminal Law)
Sesuai dengan sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam bidang hukum yang lain, idealnya fungsionalisasi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Penggunaan hukum pidana dalam praktik penegakan hukum pidana seharusnya dilakukan setelah berbagai bidang hukum yang lain itu untuk mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh terhadap hukum, dinilai tidak efektif lagi.
Fungsi hukum pidana yang demikian dalam teori seringkali pula disebut sebagai fungsi subsidiaritas. Artinya, penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan secara komprehensif. Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersifat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan.
Secara komprehensif Muladi dan Barda Nawawi mengurai makna penggunaan hukum pidana sebagai senjata pamungkas, yaitu sebagai berikut :
1. Jangan menggunakan hukum pidana dengan secara emosional untuk melakukan pembalasan semata.
2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.
3. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut.
4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi.
5. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif (unforceable).
6. Penggunaan hukum pidana juga hendaknya harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan.
7. Dalam hal tertentu, hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.
8. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal (prevention without punishment).
Berdasarkan penjelasan tersebut, sesungguhnya penggunaan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, lebih-lebih penggunaan hukum pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) di dalam menanggulangi kejahatan. Namun apabila hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka harus dibuat secara terencana dan sistematis. Ini berarti bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus mempertimbangkan faktor yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.
Sumber Rujukan :
a. Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
b. M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 24.
c. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 102.
d. Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 23-24 November 1989, hal. 5. Bandingkan dengan Loebby Loqman,, Tinjauan Yuridis Fraudulent Misrepresentation, dalam Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (editor), Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak Benar : Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991, hal. 98.
e. Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :