Teori Good Samaritan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Teori Good Samaritan adalah Teori Yang Melandasi Pengecualian Kewajiban Informed Consent.
Teori ini menganggap seorang dokter sebagai penolong yang baik hati. Sehingga seorang dokter atau petugas kesehatan tidak dapat dipersalahkan jika menolong orang lain yang dalam keadaan darurat atau bahaya, sepanjang pertolongan yang diberikan pantas atau layak.
Teori ini merupakan teori yang mengecualikan kewajiban informed consent. Namun secara yuridis ada konsekuensi yang harus ditanggung dengan ketiadaan informed consent. Jelas ada pihak yang dirugikan jika tidak ada informed consent terutama dipihak pasien karena rentannya terjadi malpraktik.
Kerugian yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Kerugian cacat tubuh dan mental.
2. Kerugian materi yang seharusnya tidak perlu.
3. Kerugian karena menanggung rasa sakit.
4. Kerugian karena tidak bisa hidup secara normal dan mencari penghidupan akibat cacat yang terjadi.
5. Kerugian karena kematian.
6. Kerugian karena penodaan terhadap keyakinan beragama.
Dibanyak negara tindakan medis yang mengabaikan informed consent dianggap setara dengan melakukan kelalaian yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Namun tidak jarang bahkan dianggap sebagai tindakan kesengajaan dan dapat di malpraktikkan. 
Tindakan yang dianggap setara dengan tindakan kesengajaan dikategorikan sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan medis, tetapi petugas kesehatan dan dokter melakukan juga tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang resiko dan akibat dari tindakan medis tersebut.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan dengan prosedur yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter (Fuady:2005).
Dengan demikian jika pasien tidak merasa diberikan informed consent namun tetap terjadi tindakan medis tanpa persetujuannya, maka pasien bisa menuntut dokter atau petugas kesehatan yang melakukannya. Hanya saja gugatan ini tidak serta merta dapat dilakukan, harus ada unsur sebagai berikut :
1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent.
2. Kewajiban tersebut diabaikan tanpa alasan jelas dan justifikasi yuridis.
3. Ada kerugian yang ditanggung pihak pasien.
4. Ada hubungan causalitas antara kerugian dengan tidak adanya informed consent tersebut.
Selain itu pasien juga harus memiliki bukti agar gugatannya cukup kuat di pengadilan. Bukti yang harus diperlihatkan adalah sebagai berikut :
1. Harus membuktikan bahwa kerugian pasien tersebut adalah sebagai akibat tindakan medis dokter.
2. Bahwa kerugian yang diderita pasien lebih besar dibandingkan jika ada informed consent dimana pasien mungkin dapat memiliki pertimbangan yang lain.
3. Bahwa didalam pemikiran yang masuk akal pasien akan memilih mengambil tindakan medis yang lain seandainya diberikan cukup informasi.
Dengan demikian setiap pasien berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Hak ini harus sepenuhnya dimengerti dan dihormati, sehingga setiap profesi medis tidak perlu mengorbankan reputasinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika dan hukum meskipun mungkin masalah tersebut dianggap terlalu remeh dan rutin.

Sumber Rujukan :
Dewi, A.I.,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :