Imbalan yang layak dalam pekerjaan ditulis oleh : Noer Amida Isymasari
Sudahkan upah kerja kita layak ?
Apakah dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak ?
Dewasa kini, pasti semua orang berlomba untuk mendapatkan pekerjaan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan hasil yang berupa penghasilan merupakan apresiasi dari aktivitas yang di wujudkan dalam bentuk uang sebagai upah atau imbalan yang pasti diharapkan atas jerih payah dalam bekerja. Tentunya setiap pekerjaan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda dan upah yang berbeda pula sesuai tingkat kesulitan bekerja.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan, seperti dalam ketentuan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen dan selanjutnya disingkat UUD 1945) memberi suatu penjelasan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Prinsip hukum ini, selanjutnya dijabarkan dalam ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa “Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Rumusan tersebut mempunyai makna, bahwa penghasilan pekerja dari kegiatan selama bekerja dalam perusahaan berhak mendapat imbalan untuk memenuhi kehidupannya secara layak.
Penghasilan yang memenuhi penghidupan layak adalah pendapatan pekerja dari hasil pekerjaan, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarga secara wajar, meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan dan pendidikan, kesehatan, rekreasi, serta jaminan hari tua.
Imbalan yang di artikan sebagai upah selama bekerja dinilai dalam bentuk uang, dan upah kerja harus memenuhi tingkat kelayakan dalam rangka untuk menunjang kehidupan, baik pribadi maupun keluarga. Pemenuhan pengupahan ini dimaksud sebagai apresiasi terhadap pekerja yang telah bekerja dan mengabdikan diri di perusahaan.
Namun kini, banyak pengusaha yang tidak patuh terhadap hukum karena masih rendahnya kesadaran hukum, dipicu dengan nilai tawar pekerja yang tergolong rendah, tingkat profesionalitas pekerja, sempitnya lapangan pekerjaan dan belum optimalnya (lemahnya) pengawasan hukum, sehingga UMK saja belum di laksanakan oleh sebagian pengusaha dalm memenuhi kewajiban hukum.
Dampak yang timbul dari ketidakpastian hukum tersebut dapat menciptakan keresahan pekerja, terutama pekerja yang upahnya masih di bawah standar minimum, dan keresahan sosial dapat berkembang ke arah aksi unjuk rasa, mogok kerja dan berdampak pada menurunnya kualitas kerja.
Kebutuhan hidup layak sebagai standar sistem pengupahan dalam hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja tidak pernah akan terwujud selama pihak legislator maupun eksekutif berpihak kepada dunia usaha tanpa memperdulikan aspek hukum, terutama ditinjau dari sudut pandang kepastian hukum antara pengusaha dengan pekerja.(95+).