Kelalaian Dokter Dalam Tindakan Bedah / Operasi

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Kelalaian Dokter Dalam Tindakan Bedah / Operasi
Tindakan pembedahan merupakan tindakan medis yang beresiko tinggi, karena didalam tindakan pembedahan perbuatan dokter selalu menimbulkan luka atau kerusakan pada jaringan tubuh pasien yang kalau perbuatan melukai tubuh seseorang ini tidak diperintah oleh undang-undang, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.
kelalaian dokter
Agar kita dapat memperoleh gambaran lebih jelas, maka perlu kita telaah apa yang dimaksud dengan penganiayaan tersebut.
Penganiayaan dirumuskan didalam pasal 351 KUHP yang antara lain berbunyi :
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,-
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Rumusan didalam pasal 351 KUHP ini tidak menjelaskan tentang arti penganiayaan. Oleh karena itu, kita harus menafsirkan arti dari istilah "penganiayaan" tersebut, dengan mengacu kepada sejarah pembentukan dari pasal yang bersangkutan atau berdasarkan doktrin / ilmu pengetahuan hukum pidana.
Berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal 351 KUHP ini, Chazawi (2001), mengemukakan 2 rumusan yang diajukan dalam rancangan oleh Menteri Kehakiman Belanda ke Parlemen, sebagai berikut :
a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit / penderitaan pada tubuh orang lain.
b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain (Satochid Kartanegara & Wirjono Prodjodikoro).
Rancangan tersebut tidak disepakati oleh beberapa anggota parlemen, karena pengertian tentang rasa sakit / penderitaan pada tubuh orang lain tersebut masih tetap belum memperjelas arti penganiayaan sendiri, sehingga Menteri Kehakiman hanya menyebutkan kata penganiayaan (mishandeling) saja dengan anggapan bahwa semua orang sudah memahami artinya.
Ternyata Satochid Kartanegara (Chazawi :2001) tetap mempergunakan rumusan dalam sejarah pembentukan tersebut di dalam doktrin hukum pidana yang dikemukakannya dengan mengartikan penganiayaan sebagai "perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka pada tubuh orang lain".
Dari doktrin tersebut, Chazawi (2001) mengemukakan unsur-unsur penganiayaan sebagai berikut :
a. Adanya kesengajaan
b. Adanya perbuatan
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni :
    * Rasa sakit pada tubuh, dan atau
    * Luka pada tubuh
Yang dimaksud dengan kesengajaan menurut Wiryono Prodjodikoro adalah sebagai maksud atau kehendak yang selain ditujukan kepada perbuatannya, juga ditujukan kepada akibatnya. Perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan ini tampak pada dilakukannya kekerasan secara fisik pada tubuh seseorang sehingga menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh seseorang.
Dari rumusan tersebut, kalau kita ilustrasikan pada kasus pembedahan, misalnya : pada tindakan pembedahan / operasi appendectomi (pengangkatan usus buntu), dokter ahli bedah melakukan sayatan / irisan pada kulit pasien di daerah Mc.Burney dengan pisau, kemudian irisan dilanjutkan lapis demi lapis sampai terangkatnya usus buntu pasien. Tindakan ini jelas - jelas menimbulkan luka yang disertai dengan rusaknya atau hilangnya jaringan tubuh (usus buntu) yang kemudian juga akan menimbulkan rasa sakit pada pasien yang mengalami tindakan pembedahan tersebut. Bila tindakan semacam ini kita proyeksikan ke dalam rumusan Chazawi tersebut, maka dapat ditemukan adanya unsur-unsur yang memenuhi rumusan penganiayaan sebagai berikut :
a. dokter ahli bedah "dengan sengaja"
b. Melakukan perbuatan mengiris tubuh pasien dan mengambil usus buntunya dengan menimbulkan beberapa kerusakan jaringan sebelum tercapainya usus buntu.
c. Dengan akibat terjadinya luka atau rasa sakit pada tubuh pasien.
Meskipun tindakan dokter ahli bedah ini memenuhi unsur-unsur penganiayaan yang dapat diancam dengan pidana berdasar padal 351 KUHP, namun ancaman pidana tersebut tidak dapat ditujukan kepada dokter ahli bedah, karena dokter melaksanakan tindakannya untuk menjalankan perintah undang-undang.
Dari uraian diatas, kiranya dapat dimengerti oleh para dokter ahli bedah dan sejawat lain yang melakukan tindakan pembedahan, betapa pentingnya informed consent (persetujuan tindakan medik) bagi tindakan pembedahan yang dilakukannya. Karena tindakan yang dilakukan tanpa consent (persetujuan) dari pasien yang menderita luka dan rasa sakit pada tubuhnya sebagai akibat tindakan dokter tersebut dapat dianggap pasien sebagai "penganiayaan" yang berhak diajukannya ke pengadilan.
Pernyataan Guwandi (2004) tentang dokter cukup menyejukkan hati untuk didengar : " Dokter pun manusia. Sebagai manusia ia pun tak terhindar dari kesalahan. Gangguan pribadi sewaktu menjalankan tugasnya, seperti : sedang mengalami persoalan keluarga yang pelik, anak sakit, pasien yang terlalu banyak, ada janji dalam waktu yang bersamaan, dan beberapa hal lain, yang mungkin dapat mengganggu konsentrasinya dalam bekerja, perlu dipertimbangkan juga".
Dalam keadaan sebagaimana disebutkan diatas, maka perhatiannya terhadap operasi yang sedang dilakukan tentunya dapat terpecah ke kesedihan pribadinya yang tidak mungkin bisa diungkapkannya sebagai alasan meninggalkan kewajibannya sebagai dokter. Sebagai akibat keadaan tersebut, tentu bisa saja terjadi kesalahan yang sama-sama tidak diharapkan baik oleh dokter maupun pasiennya.

Sumber Rujukan:
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Pustaka Book Publisher : Jakarta.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :