Pelaku Tindak Pidana

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pelaku Tindak Pidana ditulis oleh Deni Eka Priyantoro, M.H (Polda Jateng).
Pelaku tindak pidana, biasanya dilakukan oleh orang. Setiap kejahatan yang terjadi akan menimbulkan korban. Secara konsep yang umum, tidak terdapat pengertian secara spesifik mengenai pelaku tindak pidana, akan tetapi dengan menggunakan perumusan beberapa ahli hukum, seperti HB Vos, yang mengatakan bahwa pelaku tindak pidana merupakan kelakuan manusia dan diancam pidana dalam Undang-undang.
Pendapat lain dikemukakan oleh WPJ Pompe, bahwa pelaku pidana merupakan orang melakukan perbuatan dan bersifat melawan hukum atau kesalahan.
Dari kedua pendapat ini, maka pengertian pelaku tindak pidana adalah orang yang dengan memiliki unsur kesengajaan melawan hukum atau Undang-undang.
Pelaku tindak pidana menurut Pasal 55 KUHPidana dalam hal peristiwa baik pidana kejahatan dan pelanggaran yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas 4 (empat) macam yaitu:
a Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen ‘status sebagai pegawai negeri’.
b Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Disini sedikitnya ada dua orang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
(1) Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHPidana, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak berani melakukan sendiri, telah menyuruh C (seorang gila) untuk melemparkan granat tangan kepada B, bila C betul-betul telah melemparkan granat itu, sehingga mengakibatkan B mati, maka C tidak dapat dihukum karena Tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang yang dihukum sebagai pembunuh ialah A.
(2) Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48 KUHPidana, umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai pembakar.
(3) Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut Pasal 51 KUHPidana, misalnya seorang Inspektur Polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen Polisi di bawah perintah supaya menangkap dan memasukkan dalam tahanan orang tersebut dengan dikatakan, bahwa orang itu tersangka pencuri. Jika B melaksanakan suruhan itu, ia tidak dapat dihukum atas merampas kemerdekaan orang karena ia menyangka bahwa perintah itu sah, sedang yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah tetap Inspektur Polisi.
(4) Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda yang diparkir di depan kantor pos. Ia tidak berani menjalankan sendiri, akan tetapi ia dengan menunggu di tempat agak jauh minta tolong pada B untuk mengambilkan sepeda itu dengan dikatakan, bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak salah mencuri, karena elemen ’sengaja’ tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.
c Orang yang turut melakukan (medepleger), ’turut melakukan’ dalam arti kata ’bersama-sama melakukan’. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut (medepleger) peristiwa pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk ’medepleger’ akan tetapi dihukum sebagai ’membantu melakukan’ (medepligchtige) tersebut dalam Pasal 56 KUHPidana. Contoh; A berniat mencuri di rumah B dan mengajak C untuk bersama-sama melakukan. Kedua-duanya masuk rumah dan mengambil barang-barang atau C yang menggali lubang ’gasiran’, sedang A yang masuk dan mengambil barang-barangnya. Disini C dihukum sebagai ’medepleger’, karena melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian itu. Andaikata C hanya berdiri di luar untuk menjaga dan memberi isyarat kalau ada orang datang, maka C dihukum sebagai medepligchtige Pasal 56 KUHPidana sebab perbuatannya hanya bersifat menolong saja.
d Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya harus memakai salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, yang disebutkan dalam Pasal itu, artinya tidak boleh memakai jalan lain. Disini seperti halnya dengan ’suruh melakukan’ sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada ’membujuk melakukan’, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedang pada ’suruh melakukan’, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum.
Menurut ayat 2 Pasal 55 KUHPidana maka pertanggungjawab pembujuk dibatasi hanya sampai pada apa yang dibujukkan untuk dilakukan itu serta akibatnya. Misalnya A membujuk B dengan memberikan uang untuk menganiaya C. Andaikata B tidak menganiaya saja pada C akan tetapi membunuhnya, maka A hanya dapat dipertanggungjawabkan atas menganiaya saja, bukan membujuk membunuh tetapi B dipersalahkan membunuh. Lain halnya jika B menganiaya, tetapi penganiayaan ini kelebihan, sehingga berakibat yang dianiaya itu mati (yang sebenarnya tidak dimaksud oleh A, dan juga oleh B), maka A tidak hanya dipertanggungjawabkan atas penganiayaan saja, tetapi atas penganiayaan yang menyebabkan matinya orang, oleh karena matinya orang itu merupakan akibat penganiayaan itu.
Cara-cara yang dipakai untuk membujuk ialah: pemberian atau janji. Pemberian atau janji tidak hanya berwujud uang atau barang, janji yang berupa apa saja, misalnya janji akan dikawinkan dengan anaknya perempuan.
Pelaku tindak pidana menurut Pasal 56 KUHPidana adalah: orang yang membantu melakukan (medepligchtige), jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang telah melakukan perbuatan ‘sekongkol atau tadah’ (heling) melanggar Pasal 480 KUPidana, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHPidana.
Bantuan yang diberikan itu dapat berupa apa saja, baik moril maupun materiil, tetapi sifatnya harus hanya membantu saja, tidak boleh demikian besarnya, sehingga orang itu dapat dianggap melakukan suatu anasir atau elemen (perbuatan pelaksanaan) dari peristiwa pidana, sebab jika demikian, maka hal ini masuk golongan turut melakukan (medeplegen) dalam Pasal 55 KUHPidana.
Elemen sengaja dalam Pasal ini harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. Niat untuk melakukan kejahatannya harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu, jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu salah berbuat membujuk melakukan (uitlokking).
Tulisan lainnya : Teori-Teori Pemidanaan
Sumber Rujukan :
Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
R. Soesilo, 1986, KUHAP Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :