Aspek Hukum Transplantasi Organ Tubuh

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Aspek Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan.
transplantasi
Tetapi karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut :
Pasal 1:
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan           mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu.
e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.

Ayat g diatas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, karena itu IDI dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang dituangkan dalam SK PB IDI No. 336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No. 231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Selanjutnya dalam PP tersebut diatas terdapat pasal-pasal berikut :
Pasal 10
Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan/atau keluarganya terdekat setelah penderita meninggal dunia.
Pasal 11
1. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
2. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, Pasal 14 dan Pasal 15 dibuat diatas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi.
Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga terdekat.
Pasal 15
1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yng bersangkutan terlebih dahulu diberi tahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17
Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan dari luar negeri.
Sebagai penjelasan Pasal 17 dan 18, disebutkan bahwa alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, kerjasama dan saling menolong dalam keadaan tertentu.

Sumber Rujukan :
Hanafiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC: Jakarta.

Artikel Lainnya:

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :